Wednesday, September 30, 2020

Sejarah Perkembangan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korporasi dan Pengaturannya Di Dalam Undang-Undang

A. PENDAHULUAN

Kemajuan tidak kita pungkiri akan mempengaruhi seagala aspek kehidupan yang ada dimuka bumi ini. Kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan tentunya akan merubah sistem dan tatanan masyarakatnya. Tidak terkecuali didalam dunia bisnis atau perniagaan, dahulu perniagaan hanya dikenal antara orang ke orang saja. Namun seiiring dengn perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sistem perniagaan dan bisnis mengalami perubahan, transaksi tidak sesederhana dilakukan oleh perorangan saja tetapi dilakukan antar perusahaan atau korporasi. Kegiatan perniagaan yang dilakukan oleh perorangan dan perusahaan baik yang berbadan hukum ataupun yang tidak berbadan hukum tentu memiliki koridor yang berbeda pula. Seseorang didalam melakukan kegiatan perniagaan atau bisnis akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri jika melakukan tindak pidana. Dan aturannya pun sangat jelas diatur didalam KUHP jika seorang melakukan tindak pidana. Tetapi jika yang melakukan tindak pidana  adalah korporasi secara nyata hal ini belum diatur didalam KUHP. Karena subjek hukum pidana didalam hukum pidana yang dikenal didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah orang perseorangan. Pemikiran korporasi belum dipandang sebagai subjek hukum pidana, namun didalam perkembangannya korporasi sudah dianggap sebagai subjek hukum pidana. Dimana sebagai kenyataannya tindak pidana yang dilakukan korporasi tentu melibatkan perseorangan sebagai pelakunya dan subjeknya. 

B. PERKEMBANGAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Dewasa ini, korporasi memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian negara sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi era industrialisasi yang tengah dikembangkan oleh pemerintah. Dalam hubungannya dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, seiring dengan perkembangan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum sendiri memerlukan pembaharuan dan pembinaan. Pembaharuan hukum pidana itu sendiri pada hakikaktnya berhubungan erat dengan latar belakang dan urgensi dilakukan pembaharuan tersebut. Kaitannya dengan Rancangan Konsep KUHP Nasional, maka nilai- nilai Pancasila harus meresap kedalam pasal-pasal konsep KUHP Nasional.(4) Oleh karena itu, korporasi di dalam RUU KUHP diterima sebagai subjek hukum pidana,(8) mengingat kemajuan dibidang keuangan, ekonomi dan perdagangan serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik bersifat domestik maupun internasional. Saat ini subjek hukum pidana tidak dibatasi tehadap orang-perorangan (natural person) saja melainkan mencakup pula korporasi.  Istilah korporasi dalam hukum Indonesia atau biasa disebut Perseroan Perdata hanya dikenal dalam Hukum Perdata, dan telah didudukan sebagai subjek hukum. Dalam Pasal 1654 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa korporasi dapat didefinisikan sebagai “perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka”.  Menurut E. Utrecht, korporasi ditempatkan sebagai subjek hukum pidana yang diakui di dalam Undang- Undang pidana khusus (di luar KUHP), sedangkan dalam KUHP korporasi tidak diakaui sebagai subjek hukum. Menurutnya kandungan ancaman hukuman terhadap korporasi suatu badan hukum (rechtperson) karena disangka (diduga) telah melakukan suatu delik (tindak pidana), pada Pasal 59 KUHP hanya diberlakukan dalam hal perlanggaran. Lebih lanjut diterangkankan E. Utrecht yang dihukum menurut pasal ini ialah anggota pengurus atau komisaris suatu korporasi, bukan tanggungjawab kolektif (collektieve aansprakelikheid) anggota dan komisaris suatu korporasi berbadan hukum. 
Telaah ilmiah mengenai pertanggungjawaban korporasi selaku badan hukum dalam melakukan tindak pidana tidak hanya menjadi isu nasional, melainkan telah menjadi isu global,(11) sehingga pengaturan serta penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dapat dipungkiri lagi. Selian merupakan isu global, korporasi dijadikan sebagai sujek hukum pidana dilatarbelakangi oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk yang terjadi di Indonesia. Perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran global bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah, tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi. 
Perkembangan di dalam ilmu hukum pidana telah diterima dengan baik di kalangan akademisi ataupun kalangan praktisi mengenai suatu kejahatan khusus yang melibatkan suatu perusahaan yang disebut corporate crime (kejahatan korporat). Terkadang untuk kejahatan korporasi ini juga disebut kejahatan korporasi atau kejahatan organisasi (organizational crime). Di dalam sistem hukum perdata belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, dikenal adanya subjek hukum yang terbagi atas dua yakni manusia (person) dan badan hukum (rechtperson). Terhadap pembagian subjek hukum tersebut, apabila korporasi merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka korporasi merupakan kualifikasi dari badan hukum (rechtperson). Dewasa ini penyebutan korporasi terus berkembang dan banyak ditemui diberbagai buku karangan. Bahkan di Indonesia, dalam berbagai ketentuan aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah juga mencantumkan kata- kata korporasi misalnya, dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) dan peraturan perundang-undangan lainya. Diberbagai perundang-undangan yang mengatur korporasi tersebut memiliki berbagai perbedaan dalam hal memberikan definisi, ruang lingkup, hukum acara, jenis sanksi dan bentuk pertanggungjawaban pidana. Sebagai contoh dalam UU Tipikor, merumuskan korporasi adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan yang berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum. Secara umum korporasi merupakan perikatan sekumpulan orang yang terorganisasi dan/atau kekayaan dengan tujuan mencari keuntungan baik yang berbadan hukum (legal person) maupun yang tidak berbadan hukum. Dengan demikian korporasi sebagai subjek tindak pidana yang berbadan hukum ataupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana (corporate crime) yang mampu memberikan dampak kerugian dan dapat dimintakan pertanggung- jawabannya dalam hukum pidana. Dibidang ekonomi korporasi dalam melakukan kegiatannya sudah tentu berorientasi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Oleh karena itu kemungkinan korporasi melakukan juga perbuatan yang dapat merugikan orang lain dalam mencapai tujuannya. 
Indonesia memiliki aturan mengenai delik ekonomi yang meniru Pasal 15 ayat (1) W.E.D (Wet ob te Economische Delicten) 1950 Belanda, dimana dilakukan tuntutan pidana dan putusan pidana terhadap korporasi. Dapat dipidananya pengurus tetap berlaku disamping atau lepas dari tuntutan terhadap korporasi. Di Belanda, sejak tahun 1976 melalui Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 (Sbt. 377, mulai berlaku 1 September 1976) yang menganggap badan hukum atau korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat mempertanggung- 
jawabkannya terhadapap semua sistem hukum serta menempatkan dalam Bagian Umum (Buku I) KUHP, sekaligus juga menyatakan bahwa ketetuan di luar KUHP yang memuat pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dihapuskan.(4) 
KUHP Indonesia yang merupakan warisan pemerintahan belanda, sampai sekarang ini masih digunakan, namun RUU KUHP yang baru telah meletakan pengertian tentang korporasi dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 yang mana korporasi dapat dijadikan sebagai pelaku kejahatan dan dapat dibebani pertanggungjawaban. Keberadaan korporasi dapat dijadikan pelaku tindak pidana dapat disimpulkan dari beberapa pasal di dalam RUU KUHP, yakni:

a. Secara prinsip dalam RUU KUHP, konsep korporasi telah diterima sebagai badan hukum yang dapat dijadikan subjek hukum pidana. 
b. Dengan demikian korporasi sebagai badan hukum dapat dituntut dan dijatuhi hukuman pidana. 
c. Tindak pidana yang bisa dipertanggungjawabkan kepada korporasi adalah semua perbuatan yang termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional (functioneel daders) dalam korporasi yang melakukan perbuatan itu dalam lingkungan usaha dari korporasi sesuai dengan anggaran dasarnya. 
d. Hanya sebagaian peraturan perundang-undangan dapat diterapkan atas korporasi, misalnya tidak mungkin menerapkan sanksi pidana penjara atau pidana mati atas korporasi. 
Perluasan subjek hukum pidana sehingga meliputi korporasi, mulai diperkenalkan dalam Undang-Undanh Penimbunan Barang Tahun 1951 yang kemudian secara umum diperkenalkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi Tahun 1955. Sekarang banyak sekali undang-undang yang termasuk bidang ekonomi yang menentukan korporasi. Perkembangan produk perundang- undangan dewasa ini menggambarkan fenomena persoalan mengenai yang melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Terdapat tiga model pengaturan terhadap hal diatas yaitu, pertama model yang melakukan orang dan yang mepertanggungjawabkannya dalam hukum pidana juga orang (Pasal 59 KUHP), kedua model yang melakukan adalah orang dan/atau korporasi dan yang mempertanggungjawabkan dalam hukum pidana juga hanya orang (UU No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan) dan model ketiga, yang melakukan orang dan/atau korporasi dan yang dapat mempertanggungjawabkan juga orang dan/atau korporasi (UU No. 7 drt tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi). 
Di Indonesia, perkembangan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh orang dan/atau korporasi dan yang mepertanggujawabkan hanya orang di antaranya: 
a. UU No. 1 Tahun 1951 tentang Tenaga Kerja 

b. UU No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan 

c. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan 

d. UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api 

e. UU No. 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek 
f. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan 
g. UU No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing 
h. UU No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan 
i. UU No. 5 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi 
j. UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan 
k. UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal 
l. UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan 
m. UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan 
Kemudian perkembangan pengaturan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai yang melakukan tindak pidana orang dan/atau korporasi dan yang mempertanggungjawabkannya dalam hukum pidana juga orang dan/atau korporasi di antaranya:
a. UU No. 7 Drt. 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi 
b. UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian 
c. UU No. 6 Tahun 1984 tentang Pos d. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
d. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
e. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
f. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
g. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat
h. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
i. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
j. UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 
Kaitannya dengan banyaknya pengaturan khusus mengenai korporasi yang melakukan tindak pidana maka pengaturan tersebut memuat sanksi pidana bagi korporasi. Karena korporasi itu tidak mempunyai wujud badan secara lahiriah, maka sanksi pidana yang bisa diberikan kepadanya bukanlah sanksi pidana klasik, kecuali sanksi yang berkaitan dengan denda 
atau pinalti. Pada umumnya pengenaan denda kepada korporasi ini akan optimal mengingat pengeksekusiannya cukup mudah, apalagi bila sebelumnya telah diadakan penyitaan terhadap harta korporasi yang dianggap cukup ereat bersinggungan dengan tindak pidana yang terbukti telah dilakukannya. Selain pengenaan hukuman pokok berupa denda, maka bisa sja kepada korporasi itu diberikan hukuman tambahan dalam berbagai bentuknya, seperti pencabutan izin sementara waktu, atau pelarangan melakukan usaha tertentu dalam waktu tertentu,